PANGKALPINANG — Ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, seluruh kewenangan pemberian izin pertambangan diambil alih pemerintah pusat.
Penghapusan kewenangan pemerintah daerah di sektor pertambangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, diduga semakin mempersulit masyarakat Bangka Belitung untuk mengurus perizinan, agar bisa menambang timah secara legal.
Padahal, banyak lokasi tambang timah di Bangka Belitung yang masih potensial, baik di darat maupun di laut, tapi penambang tidak bisa mengurus legalitas perizinannya. Sehingga, masyarakat ‘terpaksa’ menambang secara ilegal.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, diduga turut bertanggungjawab diluar penegakan hukum, terkait legalitas penambangan timah skala kecil atau tambang rakyat di Bangka Belitung.
Jo, salah satu penambang mengungkapkan, kian hari, mengurus legalitas penambangan semakin sulit.
Pengusaha tambang yang bekerja sama dengan pemegang IUP itu mengatakan, untuk mendapatkan legalitas, harus menunggu hingga berbulan-bulan lamanya, bahkan ada yang gagal dengan berbagai alasan.
“Payah pak sekarang. Kami saja sampai 4 bulan baru dapet SPK,” ungkap Jo belum lama ini.
Jo membenarkan, banyak lokasi tambang yang potensial, tetapi tidak bisa mengurus legalitas. Buntutnya, masyarakat menambang timah secara ilegal.
“Lokasi yang potensial itu masih banyak, tapi kita tidak bisa mengurus izinnya. Jadi, ya, terpaksa kerja ilegal. Masyarakat sebenarnya paham, menambang tanpa izin itu salah. Tapi mau gimana lagi? Nunggu dapat izin, lokasi keburu habis digarap orang, dan perut setiap hari perlu makan, tidak bisa menunggu izin tambang keluar,” bebernya.
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, melalui Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Amir Syabana, awalnya enggan menanggapi lebih jauh.
“No comment, tidak ada lagi kewenangan sekarang ini,” kata Amir, Senin (15/2) siang.
Disinggung upaya dari Pemprov Babel, agar perizinan tambang skala kecil atau tambang rakyat dikembalikan lagi ke pemerintah daerah, Amir mengatakan, Gubernur Babel telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait UU Nomor 3 Tahun 2020.
“Gubernur Babel telah mengajukan gugatan Formil dan Materil ke MK, terkait UU 3/2020. Gugatan Formil telah ditolak oleh MK. Gugatan materil sedang diuji di MK,” Amir membeberkan.
Amir menjelaskan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, telah mencabut sebagian kewenangan Gubernur, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, salah satunya kewenangan perizinan di sektor pertambangan.
“Jadi, tujuan gugatan uji materi ke MK itu, agar kewenangan perizinan di sektor pertambangan dikembalikan ke pemerintah daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba,” jelasnya.
Masih kata Amir, Pemprov Babel sangat serius memperjuangkan hal itu.
“Artinya, upaya itu bukan main-main. Pemprov Babel sangat serius, sangat konstruktif dalam upaya mengembalikan kewenangan pemerintah daerah di sektor tambang itu,” kata dia.
Terpisah, Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Herman Suhadi, juga belum bisa menanggapi lebih lanjut.
Herman mengatakan, akan koordinasi dengan Pimpinan Komisi III yang membidangi masalah pertambangan.
“Mohon izin ku pelajari dulu. Maaf, ku takut salah statemen. Maaf, ya? Ku koordinasi dengn Kawan-kawan pimpinan Komisi III yang membidangi masalah ini,” kata dia.
Politisi PDI Perjuangan itu mengarahkan redaksi media ini, agar menghubungi Ketua Komisi III DPRD Babel, Fredy.
“Hubungi bang Fredy, ya? Ketua Komisi III yang membidangi Pertambangan,” imbuhnya.
Sementara Ketua Komisi III DPRD Babel, Efredi Efendi, menyediakan waktu besok (Selasa), untuk wawancara langsung di Ruangan Komisi III.
“Besok kita ketemu saja, biar langsung wawancara di Komisi III,” demikian Efredi. (Romlan)