Esensi RUU Ketahanan Keluarga Pada Subtansi Kesetaraan Hak Perempuan

Oleh: Amanda Try Ayu Kinanti
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Sekarang ini, tidak hanya UU Cipta Kerja yang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat, namun UU Ketahanan Keluarga juga sebenarnya memiliki urgensi yang sama, mengingat betapa pentingnya UU tersebut untuk kesejahteraan keluarga. Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga merupakan salah satu produk hukum yang akan diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional prioritas tahun 2020. Tujuan dibentuknya RUU Ketahanan Keluarga adalah sebagai upaya yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah, untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang dimulai dari tata kehidupan keluarga sebagai unit terkecil yang ada di dalam kelompok sosial, untuk mencapai ketahanan nasional secara komprehensif.

Akan tetapi, RUU Ketahanan Keluarga yang menjadi usulan DPR banyak dihujani kritikan dan ditolak masyarakat, lantaran dianggap terlalu mencampuri ruang pribadi warga negara. Beberapa peraturan yang disoroti adalah bagaimana pengaturan peran seorang istri. Sejumlah pasal yang terdapat di dalam RUU tersebut memuat aturan yang dapat memicu sebagai langkah mundur. Ketika banyak dari para pihak yang telah bersepakat untuk mendukung upaya pemberdayaan terhadap perempuan disektor publik, pasal-pasal yang terdapat di dalam RUU tersebut berpotensi akan membatasi ruang lingkup ataupun ruang gerak serta mendomestikasi peran perempuan.

Berbeda dengan semangat perkembangan zaman yang ingin memposisikan kedudukan perempuan untuk sejajar atau setara dengan laki-laki, rasa semangat yang ada didalam RUU tersebut terlihat jelas ingin mengembalikan peran perempuan ke lingkup domestik.

Salah satunya adalah pasal 25, pasal ini dianggap mendiskriminasikan gender dan mengabaikan peran penting perempuan di dalam keluarga. Isi yang ada di dalam pasal tersebut mengatur tentang peran seorang suami yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan resolusi konflik di dalam keluarga, sedangkan kewenangan seorang istri sekedar mengurusi perkara domestik, misalnya memperlakukan seorang suami dan anak dengan baik, memenuhi hak-hak suami dan anak, serta mangatur urusan yang ada di dalam rumah tangga.

Menurut Mutiara Ika Pratiwi, Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika menyatakan, aturan ini semakin melambangkan peran suami dan istri dalam urusan domestik keluarga. Suami berperan sebagai kepala keluarga, sementara istri wajib mengatur urusan rumah tangga. RUU Ketahanan Keluarga ini akan membuat struktur fungsi (suami istri) yang sangat diskriminatif. Struktur suami sebagai kepala keluarga dan istri mengurus rumah tangga dalam RUU Ketahan Keluarga ini, justru akan melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga.

RUU Ketahanan Keluarga ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Kewajiban seorang istri mengatur urusan rumah tangga, mengecilkan konteks sosio-ekonomi yang ada di Indonesia, yang banyak mendorong perempuan ikut terlibat dalam aktivitas ekonomi. Pandangan terhadap kewajiban seorang istri dalam mengurusi urusan rumah tangga, banyak membatasi perempuan terlibat aktif dalam aktivitas ekonomi dan sosial-politik. Hal ini pun yang akan menyebabkan perempuan dalam pasar kerja masih dianggap sebagai tenaga kerja cadangan atau reserve Labor force, karena perempuan pun harus mengampu urusan di dalam rumah tangga.

Pegiat hak-hak perempuan, Olin Monteiro menyebutkan, aturan ini sebagai diskriminasi terhadap perempuan dan memundurkan perjuangan hak perempuan. Menurut dia, itu merupakan pelanggengan budaya patriarki dalam bentuk hukum, seperti flashback lagi ke 50 tahun yang lalu, sementara gerakan perempuan sejak dulu sudah memperjuangkan aspirasi perempuan dan keterlibatan perempuan dalam berpolitik. Ketika berbicara tentang tugas perempuan hanya di rumah saja, tidak boleh kerja diluar ataupun menyampaikan aspirasinya dimuka umum, maka hal tersebut mundur lagi dari apa yang sudah diperjuangkan oleh generasi terdahulu.

Telah banyak fakta yang membuktikan bahwa adanya campur tangan peran perempuan di sektor publik, tidak kalah saing dengan laki-laki. Adanya campur tangan perempuan disektor ekonomi maupun politik, terbukti menghasilkan karya yang sangat luar biasa. Sebagai contohnya, salah satu pahlawan perempuan Indonesia yaitu R.A Kartini, siapa yang tidak mengenali sosok beliau? Beliau merupakan sosok perempuan hebat, yang bisa menyetarakan kedudukan perempuan setara dengan laki-laki. Perempuan tidak harus melulu mengurusi pekerjaan rumah tangga, tetapi juga bisa melakukan hal-hal lain dan ruang gerak perempuan pun tidak dibatasi.

Konteks keragaman dan dinamika perkembangan keluarga di Indonesia, seharusnya dapat ditangkap untuk mengatasi kerentanan keluarga yang dimaksudkan dalam RUU Ketahanan Keluarga. Kesetaraan gender kini sudah lumrah tanpa melupakan konteks di dalam masyarakat.

RUU Ketahanan Keluarga adalah bagian dari pertarungan politik antara kekuatan konservatif dan progresif. Pentingnya perwakilan dari perempuan progresif, agar dapat menangkal kekuatan konservatif yang ingin meruntuhkan perjuangan hak-hak perempuan Indonesia. Kesadaran publik juga sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi narasi yang menguatkan posisi konservatif di parlemen.

RUU Ketahanan Keluarga sangat tidak relevan dengan konsepsi gender dan negara. Beleid itu, ketinggalan zaman dan bertentangan dengan semangat kemajuan dialektika nilai perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan, konstruksi identitas, hingga keadilan sosial-ekonomi. (*)

Tinggalkan Balasan