BENGKULU SELATAN, Kabar.bangka.com – Delapan hari atau H-8 menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) serentak yang bakal berlangsung pada Rabu 14 Februari 2024 mendatang.
Isu politik uang di kalangan masyarakat di Kabupaten Bengkulu Selatan (BS) semakin berhembus kencang dan mulai isunya mulai bertebaran di mana-mana.
Transaksi jual beli suara semakin terang-terangan. Bahkan, pihak pemberi dan penerima berlomba menetapkan tarif untuk satu suara.
Seperti contohnya, suara untuk DPRD tingkat kabupaten dibandrol dengan tarif yang paling mahal. Kemudian, disusul DPRD tingkat provinsi, terkahir DPD RI dan DPR RI.
Berdasarkan pantauan Radar Kaur (RKa) di lapangan, untuk tarif suara DPRD Kabupaten dari mulai Rp 150 ribu, Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu/satu suara.
Sedangkan, untuk tarif DPRD Provinsi dibandrol mulai dari Rp 50 ribu, Rp 75 ribu sampai dengan Rp 100 ribu per satu suara.
Sedangkan, untuk tarif terkecil yakni ada di kalangan calon DPD RI dan DPR RI. Untuk tarif harga suara tingkat nasional ini hanya dibandrol mulai dari Rp 20 sampai Rp 25 ribu saja/suara.
Menanggapi isu tersebut, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten BS Sahran, SE disampaikan Komisioner Koordinator Divisi HPPH M. Arif Hidayat, S.Pd.I menegaskan, politik uang tidak boleh dilakukan dalam Pemilu.
Bahkan, menurut Arif, siapapun yang terbukti melakukan hal tersebut, maka yang bersangkutan dapat dijerat sanksi tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Politik uang tidak boleh, itu jelas aturannya. Makanya kami ingatkan kepada peserta Pemilu ataupun pemilih agar tidak melakukan hal tersebut,” tegas Arif.
Lebih lanjut Komisioner, dirinya mengajak agar seluruh masyarakat maupun peserta Pemilu untuk berkompetisi sesuai aturan. Jangan pernah melakukan cara curang yang melanggar aturan.
Dijelaskan Arif, dalam pasal 523 Undang-Undang (UU) Nomor : 7 tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan kalau pemberi dan penerima politik uang dapat dijerat pidana.
“Baik pemberi maupun penerima politik uang, bisa diancam pidana hukuman penjara maksimal 4 tahun dan denda maksimal Rp 28 juta,” jelas Komisioner.
Itu artinya, masih kata Arif, jika terbukti ada permainan politik uang dalam pesta demokrasi, yang diproses hukum bukan hanya pihak yang memberi. Namun, masyarakat yang menerima pun bisa dijerat pidana.
“Untuk itu kami berharap masyarakat bisa menjadi pemilih yang cerdas. Mari kita ciptakan Pemilu yang berintegritas, tolak politik uang,” pesan Arif. (red/adv)