HEADLINEOPINI

Jika Kertas Diumpamakan Orang

16
×

Jika Kertas Diumpamakan Orang

Sebarkan artikel ini

Penulis : Romlan (Wartawan Utama / Assesor)

 

“Kalau keberatan dengan berita, silakan gunakan hak jawab”.

Ucapan itu sering kali didengar, apabila wartawan ditegur atau diingatkan terkait berita sepihak yang merugikan pihak lain.

Mempublikasikan berita yang merugikan pihak lain tanpa dilakukan verifikasi untuk akurasi dan keberimbangan, patut diduga ada i’tikad buruk. Artinya sengaja merugikan pihak lain dengan berita yang dimuat atau disiarkan.

Analoginya sangat mudah. Robeklah selembar kertas sampai jadi potongan yang kecil-kecil, kemudian hamburkan dan biarkan terbawa angin. Setelah itu kumpulkan dan satukan kembali.

Apakah semua potongan kertas yang sudah bertebaran itu bisa dikumpulkan dan disatukan kembali? Kalau pun bisa, kertas yang sudah dirobek dan dihamburkan itu tidak akan bisa dikembalikan utuh seperti semula, kecuali didaur ulang.

Jika kertas itu diumpamakan orang, begitu mudahnya pers dengan segala beritanya merusak harkat, martabat dan nama baik orang. Hak jawab dan hak koreksi saja tidak akan bisa mengembalikannya seperti semula.

Padahal, wartawan memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik sebagai himpunan etika profesi kewartawanan. Ketentuan Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik mengatur Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, dan tidak beri’tikad buruk.

Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Ketentuan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik, Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, dan menerapkan asas praduga tak bersalah.

Dalam penafsirannya, yang dimaksud dengan menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Ketentuan Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik, Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Dalam penafsirannya, yang dimaksud menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya, selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers, yang dimaksud Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.

Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi. Tapi apakah semua pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers menggunakan hak jawab dan hak koreksi? Belum tentu. Dengan berbagai pertimbangan, banyak yang memilih tidak menggunakan haknya tersebut.

Verifikasi dan Keberimbangan

Dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber diatur, pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi. Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.

Kecuali berita tersebut benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak, sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten, subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai.

Jika demikian, media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.

Setelah memuat berita awal yang baru sepihak, media wajib meneruskan upaya verifikasi. Setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi tersebut.

Pada dasarnya berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi, kecuali terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers. Pencabutan berita wajib disertai dengan alasan pencabutan dan diumumkan kepada publik.

Jangan sampai berita jadi dosa. Sudah seharusnya wartawan memahami dan mentaati seluruh aturan dan etika jurnalistik. Jangan cuma bisa bicara hak jawab dan hak koreksi, tapi hak orang lain juga harus dihargai.

Melanggar aturan dan etika jurnalistik akan menimbulkan berbagai sanksi. Mulai dari sanksi hukum, sampai sanksi sosial. Dan yang pasti, akan menurunkan kepercayaan publik terhadap media tersebut. (*)

READ  Dewan Ingatkan Pemkab Bengkulu Selatan Soal Pentingnya Mengarahkan Program Pembangunan Prioritas