PANGKALPINANG — Kuasa hukum PT Pulomas Sentosa DR. Adystia Sunggara, SH., MH., M.Kn dari Kantor Hukum Adystia Sunggara & Partner, angkat bicara terkait keadaan alur muara Air Kantung atau muara Sungai Jelitik di Sungailiat, Kabupaten Bangka, yang saat ini sudah buntu total.
Kepada KABARBANGKA.COM Adystia mengungkapkan, buntunya alur muara itu lantaran PT Pulomas Sentosa menghentikan seluruh kegiatan pengerukan dan pendalaman, pasca dicabutnya izin lingkungan perusahaan tersebut oleh Gubernur Kepulauan Bangka Belitung.
“Terkait kondisi alur muara yang ternyata hari ini sama sekali tidak bisa dilintasi oleh masyarakat nelayan, disebabkan PT Pulomas tidak bisa bekerja melakukan kegiatan pengerukan, karena izin lingkungannya dicabut oleh Gubernur. Padahal pada saat itu masih ada sanksi administratif dari Kementerian yang sedang berjalan. Sehingga klien kami PT Pulomas tidak bisa melaksanakan kegiatan pendalaman alur muara, terhentilah kegiatan itu,” ungkap Adystia ditemui di kantornya, Selasa (17/5).
Adystia menyayangkan setelah pencabutan izin lingkungan PT Pulomas Sentosa, tidak ada solusi untuk mengatasi pendangkalan alur muara Air Kantung. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung yang saat itu dijabat Erzaldi Rosman, malah memberikan perjanjian kerja sama untuk pendalaman alur kepada Primkopal yang tidak memiliki izin lingkungan maupun surat izin kerja keruk.
Belakangan, lanjut Adystia, perjanjian kerja sama dengan Primkopal itu dibatalkan oleh Gubernur. Dalam surat pencabutan itu dijelaskan alasannya, karena pengajuan diskresi tidak dapat jawaban / tanggapan dari Presiden, sehingga perbuatan perjanjian itu dianggap bertentangan dengan Undang-Undang dan perlu dibatalkan.
“Yang anehnya lagi, setelah mencabut itu (perjanjian kerja sama dengan Primkopal), dia (Gubernur-red) memberikan lagi perjanjian kerja sama pendalaman alur kepada Inkopal yang notabenenya sama dengan Primkopal, tidak punya SIKK, dan tidak punya izin lingkungan. Di sini sebagai seorang kepala kepemerintahan dalam melaksanakan tindakan pemerintah justru tidak memberikan azas manfaat, malah merugikan masyarakat nelayan sekitar. Sekarang kita lihat apa yang terjadi di alur muara? sama sekali tidak bisa digunakan oleh nelayan, sudah bisa ditanam pisang. Yang bertanggung jawab adalah kebijakan pemerintah jamannya Erzaldi selaku Gubernur,” bebernya.
Masih kata Adystia, Kuasa hukum maupun PT Pulomas berharap kepada Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, agar bisa mencarikan solusi atau mengeluarkan suatu kebijakan yang memberikan manfaat kepada masyarakat nelayan, sehingga alur muara Air Kantung atau muara Sungai Jelitik itu bisa digunakan kembali, bisa keluar masuk perahu nelayan. Kemudian kebijakan pemerintah yang diberikan Gubernur yang lama dengan Inkopal itu harusnya ditinjau atau dikaji kembali, apakah Inkopal itu memiliki izin? Ada tidak izin lingkungannya?
“Kan lucu, memberikan pekerjaan pendalaman alur kepada orang yang tidak memiliki izin lingkungan, sementara yang punya izin lingkungan malah dicabut. Harapan kami dengan Penjabat Gubernur yang sekarang dapat mengambil kebijakan yang bisa menjadi solusi. Bukan melihat kepentingan dari PT Pulomas saja, tapi lihat kepentingan besar masyarakat nelayan di situ. Sehingga alur muara yang selama ini bisa digunakan ketika PT Pulomas beraktifitas, dapat kembali digunakan oleh nelayan sekitar,” imbuhnya.
Terkiat perkara gugatan yang diajukan di Pengadilan TUN maupun di Pengadilan Negeri, Adystia berharap kepada para pihak atau pihak-pihak lain menghormati dan menghargai proses hukum yang sedang berjalan, tidak melakukan tindakan-tindakan di alur muara itu, baik mengambil atau menjual pasir di situ sebelum ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
“Kita hormati saja dulu proses hukum ini sampai ada keputusan tetap,” demikian Adystia.
Dikabarkan sebelumnya, ratusan unit perahu nelayan tidak bisa lagi menggunakan alur muara Air Kantung atau muara Sungai Jelitik untuk keluar atau masuk ke dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara Jelitik, karena kondisi alur muara tersebut kini sudah buntu total.
Tokoh pemuda sekaligus mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Bangka, Ratno Daeng menuturkan, kondisi alur muara Air Kantung saat ini adalah yang terparah sepanjang sejarah.
“Sekarang ini kondisi alur muara Air Kantung itu sudah sangat parah. Bahkan yang terparah sepanjang sejarah. Menurut data tahun 2021 lalu, ada 908 perahu nelayan yang terdata berlabuh dan bongkar muat di dermaga PPN Jelitik, belum termasuk perahu yang singgah – singgah dan perahu kecil atau kolek-kolek,” ungkap Ratno di Sungailiat, Jum’at malam (13/5).
Lanjut Ratno, hampir semua aktivitas nelayan yang berlabuh dan bongkar muat di dermaga PPN Jelitik menggunakan alur muara itu untuk keluar atau masuk ke dermaga. Namun sejak beberapa bulan belakangan ini, perahu nelayan kesulitan untuk keluar atau masuk ke dermaga, karena kondisi alur muara yang tidak bisa lagi dilalui.
Senada dengan Ratno, Daeng Kandar, salah satu nelayan setempat mengatakan, kondisi terkini alur muara Air Kantung atau muara Sungai Jelitik itu sudah buntu total.
“Kalau air surut, sampai kolek-kolek pun tak bisa lewat, bahkan kita bisa jalan kaki di situ,” ujarnya.
Kandar berharap pemerintah pusat mau pun pemerintah daerah segera bertindak, agar masalah pendangkalan alur muar air kantung itu segera teratasi.
“Cobalah Pj Gubernur datang ke sini, lihat langsung kondisi alur muara itu. Pada dasarnya, bagi kami siapa pun yang mengerjakannya silakan saja, yang penting perahu kami para nelayan ini bisa keluar masuk dari dan ke dermaga,” imbuhnya.
Menurut Kandar, kondisi ini sudah terjadi sejak aktivitas PT Pulomas Sentosa berhenti, lantaran perizinannya dicabut oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sejak PT Pulomas menghentikan kegiatannya, setiap hari kondisi alur muara semakin dangkal dan akhirnya buntu total, lantaran tidak ada yang melakukan pengerukan dan pendalaman.
“Kalau dulu masih ada PT Pulomas, walau pun terjadi pendangkalan, tapi perahu nelayan masih bisa lewat, tidak harus menunggu air laut pasang. Karena di mulut muara itu oleh PT Pulomas dibantu keruk pakai Ekscavator, jadi alurnya tetap terbuka,” bebernya.
Masih kata Kandar, sekarang kebanyakan perahu nelayan berlabuh di Pangkal Balam. Karena sandar di dermaga milik pribadi, perahu nelayan asal Sungailiat dikenakan biaya tambat labuh sebesar Rp 75.000 per hari.
“Semenjak alur muara Air kantung tidak bisa lagi dilewati, sekarang para nelayan Sungailiat bongkar muat dan tambat labuh di Pelabuhan Jeruk Pangkal Balam. Karena itu pelabuhan milik pribadi, jadi kami dikenai biaya Rp 75.000 sehari,” kata dia. (Romlan)
Catatan Redaksi :
(Pihak terkait dalam berita ini masih dalam upaya konfirmasi lebih lanjut untuk verifikasi dan keberimbangan)