HEADLINEOPINI

Penambang Semakin Sengsara

×

Penambang Semakin Sengsara

Sebarkan artikel ini

Oleh: Romlan



Tuhan menciptakan kekayaan alam ini untuk hambanya, agar bisa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Miris dan ironis! Itulah yang dirasakan penulis ketika mendengar keluh kesah penambang timah di negeri ini.

Sebagai rakyat Indonesia, para penambang juga tentu punya hak untuk hidup sejahtera dan bermartabat. Namun hal itu tidaklah semudah yang dibayangkan. Tidak semudah para pemangku kepentingan mengetok palu, ketika mengesahkan Undang-Undang dan Peraturan.

Fakta yang tidak terbantahkan. Regulasi di sektor pertambangan yang berlaku saat ini, tidak satupun yang berpihak kepada kepentingan rakyat kecil. Regulasi yang sejatinya untuk menyelamatkan kekayaan sumberdaya alam dan mensejahterakan rakyat, malah berbalik menyengsarakan, terkhusus para penambang timah dan mineral ikutannya.

Ketatnya peraturan, dan sulitnya mendapatkan legalitas, menyebabkan penambangan timah secara ilegal takkan pernah berakhir. Di satu sisi rakyat butuh makan, di sisi lain aturan hukum wajib ditegakkan. Haruskah rakyat disalahkan? Layakkah para penambang timah ilegal itu dihukum?

Penambang timah ilegal itu semakin sengsara, ketika penguasa tanpa pangkat alias preman kampung bermunculan. Mereka menjadi penguasa sekaligus regulator di “kampungnya” sendiri.

Dengan pongahnya, penguasa tanpa pangkat itu membuat aturan sendiri, sebagai alasan mereka untuk menguasai lokasi-lokasi tambang yang masih potensial. Dengan aturan yang mereka buat sendiri itu, kemudian mengambil pungutan gono-gini dari penambang. Siapapun yang ingin menambang timah di wilayah “kekuasaan” mereka, wajib mengikuti aturan yang dibuat oleh penguasa setempat.

Sebagai contoh, penambang wajib membayar uang masuk atau uang muka. Belum lagi pemotongan dari harga jual timahnya, ditambah seabreg-abreg pungutan gono-gini, semakin menambah sengsara para penambang.

Penambang timah ilegal itu butuh lokasi yang potensial, dan jaminan perlindungan keamanan. Alasan inilah, yang membuat para penambang timah ilegal itu tidak berani melawan, atau menentang aturan yang dibuat penguasa tanpa pangkat alias preman kampung itu.

Disadari atau tidak, bahwa penambang timah ilegal itu sudah jadi sapi perah peliharaan para penguasa tanpa pangkat itu.

Bila dikaji dari hukum positif, regulasinya sudah sangat jelas. Hanya pejabat berwenang yang bisa memberikan izin pertambangan. Dan pungutan di sektor pertambangan juga sudah diatur negara. Preman kampung itu jelas tidak punya hak dan kewenangan, untuk membuat aturan atau mengambil pungutan dari para penambang timah ilegal, dalam bentuk apapun.

Pemerintah dan pihak berwenang bukannya tidak mengetahui hal itu. Namun, entah apa alasan dan pertimbangannya? Faktanya, tidak satupun di antara penguasa tanpa pangkat itu yang ditindak atau diproses hukum. Malah dibiarkan semakin merajalela.

Bahkan, konon katanya, beberapa di antara penguasa tanpa pangkat itu malah sengaja dipelihara oleh oknum tertentu untuk mengambil keuntungan, dengan memanfaatkan kewenangan dan kekuasan yang melekat pada dirinya.

Fakta itu terungkap, setelah penguasa tanpa pangkat di suatu tempat di negeri ini, dengan tegas menyatakan hanya nurut dan patuh kepada seseorang yang sudah dianggapnya bagai Tuhan Kedua. Bila kata Tuhan Kedua itu mereka boleh bekerja menambang timah, maka mereka akan terus bekerja. Tapi bila disuruh berhenti, mereka juga akan berhenti.

Begitu hebatnya sang Tuhan Kedua itu, melampaui kewenangan para pejabat yang sah di negeri ini.

Di seluruh penjuru dunia, hukum adalah panglima. Artinya, aturan hukum yang sudah ditetapkan, wajib dipatuhi oleh semua orang. Jika melanggar, adalah tugas dan kewenangan para penegak hukum, untuk menindak dan memproses si pelanggar hukum itu.

Penegakan hukum juga haruslah berkeadilan. Untuk itu penulis mendorong pihak berwenang bertindak tegas membasmi penguasa tanpa jabatan alias preman kampung, yang tanpa hak telah membuat aturan sendiri, kemudian mengambil pungutan dari penambang timah ilegal.

Bagaimana pun, penambang timah juga punya hak untuk hidup layak dan bermartabat, serta mendapat perlindungan hukum dan keadilan. (*)

READ  6 Mahasiswa UBB Pungut Sampah di Pantai Temberan