Kasus oknum polisi yang positif narkoba dan dijatuhi hukuman salat lima waktu berjamaah sebagai bagian dari pembinaan mendapat perhatian luas dan beragam opini.
Hukuman salat ini sebenarnya merupakan bagian dari pembinaan rohani sementara selama 14 hari, yang disertai dengan sanksi lain seperti apel rutin dan olahraga intensif, bukan satu-satunya hukuman yang diberikan.
Namun, sanksi ini sempat menuai kritik karena dianggap tidak sebanding dengan pelanggaran berat seperti penyalahgunaan narkoba, apalagi salat adalah kewajiban ibadah, bukan hukuman.
Pihak kepolisian sendiri menegaskan bahwa selain pembinaan spiritual tersebut, kasus ini tetap diproses secara hukum sesuai undang-undang yang berlaku, dan tidak ada toleransi bagi anggota yang terlibat narkoba.
Kapolda Kalimantan Selatan menegaskan akan memberikan hukuman berat untuk menjaga integritas institusi dan menekan penyalahgunaan narkoba di tubuh Polri.
Opini yang muncul menyoroti pentingnya penegakan hukum yang tegas dan adil, agar tidak menimbulkan kesan pembiaran atau lemahnya pengawasan internal kepolisian.
Hukuman pembinaan rohani seperti salat bisa menjadi pelengkap, tapi tidak boleh menggantikan sanksi hukum yang semestinya diberikan pada pelanggaran serius seperti narkoba.
Hal ini penting agar citra kepolisian tetap terjaga dan masyarakat percaya pada penegakan hukum yang konsisten.
Sebagaimana yang kita tahu,sholat berjamaah merupakan kewajiban bagi seorang muslim namun Ketika sholat dijadikan sebuah hukuman menjadikan sholat seolah-olah hal yang tidak wajib untuk dikerjakan dan membuat shoslat dikerjakan dengan adanya keterpaksaan dan prioritas hukuman semata.
Singkatnya, hukuman salat berjamaah bagi polisi positif narkoba dapat dimaknai sebagai upaya pembinaan spiritual sementara, namun harus diiringi dengan proses hukum yang tegas dan sanksi yang sesuai agar tidak menimbulkan kontroversi dan menjaga kredibilitas institusi kepolisian. (*)
Pantaskah Oknum Polisi Positif Narkoba Dihukum Sholat Berjamaah?
