JAKARTA – Ketua Komisi III DPRD Provinsi kepulauan Bangka Belitung, Adet Mastur, mempertanyakan mekanisme penetapan batas kawasan hutan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Hal itu dipertanyakan Adet, saat melakukan koordinasi dan konsultasi ke Kantor Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Jumat (2/5).
Adet Mastur dan rombongan disambut baik oleh F.X. Heriawan, Kasubdit PPKH beserta jajaran.
Adet berharap agar tata kelola kawasan hutan dapat memberikan ruang yang bisa dimanfaatkan masyarakat secara baik dan optimal, sehingga mampu memberikan manfaat secara ekonomi maupun sosial dalam mewujudkan pembangunan dan kesejahteraan di masyarakat.
“Kewenangan kepala daerah kami ini sangat minim, hanya sekitar 20 persen, sedangkan 40 persen itu kewenangan ada di KLHK,” ungkap dia.
“Karena Bangka Belitung itu daratnya sekitar 40% kawasan hutan, baik itu hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi. Dan yang lainnya itu adalah kawasan pertambangan yang kewenangannya ada di Kementerian ESDM,” jelas dia.
Ditambahkannya, di dalam 40 % yang masuk kawasan hutan tersebut telah ditetapkan dalam tata ruang wilayah, yang nantinya diharapkan untuk mengisi pembangunan daerah Provinsi kepulauan Bangka Belitung.
Namun menurutnya, hingga sekarang belum juga terealisasi untuk perubahan status atau fungsi kawasan hutan tersebut.
“Dengan semakin tumbuh kembangnya pembangunan, masyarakat kami membuat rumah di dalam kawasan hutan. Jadi kawasan hutan itu sudah menjadi pemukiman,” beber dia.
Untuk itu pemerintah daerah mengusulkan perubahan status / fungsi kawasan hutan menjadi hak penggunaan lain, dengan dikeluarkannya kawasan hutan menjadi HPL. Dari 40 % kawasan hutan yang ada seharusnya berkurang.
“Tetapi lucu Pak, di Bangka Belitung kawasan hutannya itu bertambah. Ini yang perlu kami pertanyakan ke sini, bagaimana caranya untuk memetakan kawasan hutan ini,” kata dia.
Adet mencontohkan kawasan hutan yang ada di Kabupaten Bangka Tengah yang sebelumnya berada di angka 56,6 %, bertambah menjadi 63 %. Padahalnya telah diusulkan di dalam program Tora.
” Harapan kami dengan adanya program Tora, kawasan hutan itu jadi berkurang, tetapi ini menjadi bertambah. Jadi itu yang perlu kami diskusikan. Setelah kami kroscek ke lapangan, banyaknya usulan-usulan daripada pengusaha untuk merubah status hutan,” terang dia.
“Apalagi ada kawasan hutan yang dirambah oleh pihak perkebunan sawit, ada kawasan hutan yang dirambah untuk buka tambak udang dan pertambangan. Lucunya, yang tadinya hijau bisa diputihkan,” ujar dia. (*)